Dari 1.226 orang terkaya dunia sebagaimana dirilis oleh majalah ekonomi terkemuka, Forbes baru-baru ini, sebanyak 17 pengusaha Indonesia termasuk di dalamnya. Kesuksesan mereka bertengger pada posisi “keramat” tersebut, tak lepas dari performance ekonomi nasional yang dalam data statistik menunjukkan kinerja terbaiknya sementara krisis justru merontokkan ekonomi AS dan Eropa.
Bukti kondusifnya ekonomi Indonesia bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi tahun 2011 yang mencapai 6,1 persen, melampaui target pemerintah 5,8 persen. Akselerasi mesin ekonomi ini tak lepas dari dukungan konsumsi domestik (internal factor) yang menyumbang 70 persen PDB.
Kinerja ekonomi Indonesia juga bisa kita lihat dari meningkatnya pendapatan perkapita serta nilai produk domestik bruto (PDB). Pendapatan perkapita atau pendapatan rata-rata orang Indonesia dalam setahun menurut catatan BPS sebesar Rp. 30,8 juta pada tahun 2011, atau naik 13,8 persen dari tahun 2010 sebesar Rp27,1 juta.
Sedangkan untuk PDB atau jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam satuan ruang dan waktu tertentu, mencapai Rp. 6.422,9 triliun. Karena capaian PDB ini pulalah Indonesia masuk sebagai salah satu anggota G-20, yaitu kelompok negara dengan volume ekonomi terbesar yang menguasai 85 persen ekonomi dunia. Manisnya posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia tentu tak lepas dari kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia baik ditilik sebagai pasar maupun sebagai faktor produksi.
Pembangunan Berkeadilan
Namun ketika kita menengok ke ruang kehidupan grass root, betulkah capai-capaian ekonomi tersebut sudah menjadi representasi wajah masyarakat Indonesia secara umum, atau justru hanya menara gading? Pertanyaan tersebut urgent dijawab sebagai titik tolak untuk mewujudkan policy berkeadilan sebagaimana menjadi salah satu tujuan perekonomian nasional.
Harus disadari bahwa PDB tidak bisa dijadikan sebagai acuan utama dalam menghitung kualitas kesejahteraan masyarkat karena masih menganganya jurang kesenjangan. Ada kelompok masyarakat kaya raya dan berpenghasilan sangat tinggi, namun di kutub lain ada pula yang terus didera kemelaratan dan tak berdaya naik kelas akibat lingkaran setan kemiskinan.
Menurut BPS, dengan standar pendapatan sebesar Rp200.000 perbulan, jumlah penduduk miskin sebanyak 30,02 juta orang atau 12,49 persen per maret 2011. Dilihat dari peta sebarannya, penduduk miskin di desa menempati porsi terbesar yaitu 19,9 juta orang atau 64 persen, sementara penduduk miskin kota sebesar 11,1 juta orang atau 36 persen.
Merujuk APBN 2012, rupanya kebijakan pemerintah belum memihak kaum miskin. Dari Rp. 1.439 Triliun anggaran negara, 70 persen diperuntukkan bagi pembangunan di Pulau jawa. Sisanya, 30 persen di bagi-bagi ke Sumatera, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Papua. Sementara pengentasan kemiskinan juga sangat minim. Hanya Rp50 triliun untuk 57 juta penduduk miskin dan penduduk hampir miskin, jauh di bawah belanja 4,7 juta pegawai dengan besaran anggaran Rp215,7 triliun.
Dari data tersebut maka dapat ditarik premis jika akar kemiskinan sebenarnya karena disparitas pembangunan atau ketidakadilan dalam distribusi anggaran. Pembangunan masih berorientasi pada urban development atau pembangunan kota, sehingga pergerakan ekonomi juga hanya terpusat di kota, utamanya kota-kota di pulau Jawa.
Selain angka kemiskinan di atas, Indonesia juga masih dihantui oleh penduduk hampir miskin dengan jumlah mencapai 27,82 juta orang atau 11,5 persen per September 2011. Kesalahan pemerintah dalam mengambil kebijakan bisa berimbas pada terjungkalnya mereka ke dalam jurang kemiskinan.
Jika rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) direalisasikan, maka angka kemiskinan akan bertambah. Hal ini dikarenakan oleh naiknya harga kebutuhan sehari-hari. Menurut BPS, pangan dan rokok berperan besar dalam memengaruhi kemiskinan di Indonesia. Beras memberikan sumbangan sebesar 25,45% untuk kemiskinan penduduk di perkotaan dan 32,81% di pedesaan (kontan.co.id, 01/07/2011).
Angka kemiskinan dengan porsi terbesar dari desa yaitu sebesar 63 persen, bertolak belakang dengan orang terkaya dunia asal Indonesia dimana mereka justru bergerak pada sektor bisnis yang bersentuhan langsung dengan desa atau daerah yang kurang mendapat perhatian. Sebagian besar bisnis mereka berbasis di daerah luar Jawa. Seperti perkebunan dan pertambangan yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Tidak liniernya kesejahteraan para pengusaha dengan kemajuan masyarakat desa, mengindikasikan jika bisnis yang dijalankan para pengusaha belum mampu menstimulus ekonomi masyarakat untuk mampu mengurai rantai kemiskinan.
Kita ketahui bahwa pendidikan masyarakat desa tidaklah semaju masyarakat kota. Karenanya masyarakat desa tidak kompetitif. Maka sering kali perusahaan justru menarik orang kota untuk bekerja pada sektor-sektor bisnis di desa, akibatnya desa tak bisa berkembang linier seiring dengan pembangunan disekitarnya. Dengan segala macam potensi kekayaannya, bahkan tak jarang desa justru dieksploitasi.
Magnetisme Desa
Problem kehidupan desa yang tak kalah kompleks dengan kota, akhirnya memaksa masyarakt desa untuk bergerak ke kota, melakukan urbanisasi. Kota dipandang masih lebih menjanjikan. Akibatnya terjadi penumpukan penduduk di kota. Problem kota pun semakin kompleks seiring arus urbanisasi yang tak mampu diimbangi dengan kapasitas kota. Baik oleh keterbatasan daya tampung, maupun keterbatasan lapangan kerja.
Akhirnya, problem sosial ekonomi hanya bergeser dan berpindah tempat dari desa ke kota. Hal ini menjadi rumit diurai karena masing-masing tidak kontekstual pada tawaran solusi yang butuh pendekatan berbeda berdasarkan wilayahnya.
Oleh karena itu, untuk mengikis disparitas pembangunan, menarik gagasan yang diajukan oleh cendikiawan Marwah Daud Ibrahim. Marwah menawarkan konsep desa metropolis. Desa diformat sebagai hunian yang nyaman dan menjanjikan. Dibangun inkubator-inkubator ekonomi berdasarkan potensi sumber daya alam lokal setiap desa sebagai bahan baku. Hunian juga ditata dengan pola komunitas. Bermukim pada satu titik strategis yang mudah dijangkau oleh moda transportasi sehigga mengakselerasi mobilitas masyarakat desa dalam melanjutkan aktifitas ekonomi mereka.
Akhirnya, ekonomi pedesaan tumbuh dan desa menjadi daerah menarik untuk bermukim sehingga mencegah terjadinya urbanisasi. Dengan demikian, tentu perputaran uang dan pembangunan akan lebih merata. Kaum muda dari desa yang umumnya telah memiliki kesadaran menuntut ilmu dan banyak melakukan perantauan intelektual, pada akhirnya juga tertarik kembali ke desa, mengembangkan desa dengan ilmu yang ia miliki.
Magnetisme desa berefek ganda bagi kehidupan sosial dan ekonomi secara keseluruhan. Masalah kependudukan yang sering terpusat di kota seperti kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas bisa diurai seiring penurunan angka urbanisasi. Bahkan kemungkinan terjadi arus sebaliknya, yaitu perpindahan penduduk dari kota ke desa atau ruralisasi karena pesona dan harmoni kehidupan desa yang tak lagi dimiliki oleh perkotaan.
Namun untuk mewujudkan desa metropolis tersebut, sebagai langkah awal maka orientasi pembangunan harus memihak pada pedesaan. Kita berharap kedepan orang-orang kaya dunia atau orang-orang kaya Indonesia muncul dari desa. Karena di desa, semua faktor produksi tersedia. Mulai dari manusia hingga bahan bakunya.
Bukti kondusifnya ekonomi Indonesia bisa dilihat dari pertumbuhan ekonomi tahun 2011 yang mencapai 6,1 persen, melampaui target pemerintah 5,8 persen. Akselerasi mesin ekonomi ini tak lepas dari dukungan konsumsi domestik (internal factor) yang menyumbang 70 persen PDB.
Kinerja ekonomi Indonesia juga bisa kita lihat dari meningkatnya pendapatan perkapita serta nilai produk domestik bruto (PDB). Pendapatan perkapita atau pendapatan rata-rata orang Indonesia dalam setahun menurut catatan BPS sebesar Rp. 30,8 juta pada tahun 2011, atau naik 13,8 persen dari tahun 2010 sebesar Rp27,1 juta.
Sedangkan untuk PDB atau jumlah barang dan jasa yang diproduksi dalam satuan ruang dan waktu tertentu, mencapai Rp. 6.422,9 triliun. Karena capaian PDB ini pulalah Indonesia masuk sebagai salah satu anggota G-20, yaitu kelompok negara dengan volume ekonomi terbesar yang menguasai 85 persen ekonomi dunia. Manisnya posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia tentu tak lepas dari kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia baik ditilik sebagai pasar maupun sebagai faktor produksi.
Pembangunan Berkeadilan
Namun ketika kita menengok ke ruang kehidupan grass root, betulkah capai-capaian ekonomi tersebut sudah menjadi representasi wajah masyarakat Indonesia secara umum, atau justru hanya menara gading? Pertanyaan tersebut urgent dijawab sebagai titik tolak untuk mewujudkan policy berkeadilan sebagaimana menjadi salah satu tujuan perekonomian nasional.
Harus disadari bahwa PDB tidak bisa dijadikan sebagai acuan utama dalam menghitung kualitas kesejahteraan masyarkat karena masih menganganya jurang kesenjangan. Ada kelompok masyarakat kaya raya dan berpenghasilan sangat tinggi, namun di kutub lain ada pula yang terus didera kemelaratan dan tak berdaya naik kelas akibat lingkaran setan kemiskinan.
Menurut BPS, dengan standar pendapatan sebesar Rp200.000 perbulan, jumlah penduduk miskin sebanyak 30,02 juta orang atau 12,49 persen per maret 2011. Dilihat dari peta sebarannya, penduduk miskin di desa menempati porsi terbesar yaitu 19,9 juta orang atau 64 persen, sementara penduduk miskin kota sebesar 11,1 juta orang atau 36 persen.
Merujuk APBN 2012, rupanya kebijakan pemerintah belum memihak kaum miskin. Dari Rp. 1.439 Triliun anggaran negara, 70 persen diperuntukkan bagi pembangunan di Pulau jawa. Sisanya, 30 persen di bagi-bagi ke Sumatera, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Papua. Sementara pengentasan kemiskinan juga sangat minim. Hanya Rp50 triliun untuk 57 juta penduduk miskin dan penduduk hampir miskin, jauh di bawah belanja 4,7 juta pegawai dengan besaran anggaran Rp215,7 triliun.
Dari data tersebut maka dapat ditarik premis jika akar kemiskinan sebenarnya karena disparitas pembangunan atau ketidakadilan dalam distribusi anggaran. Pembangunan masih berorientasi pada urban development atau pembangunan kota, sehingga pergerakan ekonomi juga hanya terpusat di kota, utamanya kota-kota di pulau Jawa.
Selain angka kemiskinan di atas, Indonesia juga masih dihantui oleh penduduk hampir miskin dengan jumlah mencapai 27,82 juta orang atau 11,5 persen per September 2011. Kesalahan pemerintah dalam mengambil kebijakan bisa berimbas pada terjungkalnya mereka ke dalam jurang kemiskinan.
Jika rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) direalisasikan, maka angka kemiskinan akan bertambah. Hal ini dikarenakan oleh naiknya harga kebutuhan sehari-hari. Menurut BPS, pangan dan rokok berperan besar dalam memengaruhi kemiskinan di Indonesia. Beras memberikan sumbangan sebesar 25,45% untuk kemiskinan penduduk di perkotaan dan 32,81% di pedesaan (kontan.co.id, 01/07/2011).
Angka kemiskinan dengan porsi terbesar dari desa yaitu sebesar 63 persen, bertolak belakang dengan orang terkaya dunia asal Indonesia dimana mereka justru bergerak pada sektor bisnis yang bersentuhan langsung dengan desa atau daerah yang kurang mendapat perhatian. Sebagian besar bisnis mereka berbasis di daerah luar Jawa. Seperti perkebunan dan pertambangan yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Tidak liniernya kesejahteraan para pengusaha dengan kemajuan masyarakat desa, mengindikasikan jika bisnis yang dijalankan para pengusaha belum mampu menstimulus ekonomi masyarakat untuk mampu mengurai rantai kemiskinan.
Kita ketahui bahwa pendidikan masyarakat desa tidaklah semaju masyarakat kota. Karenanya masyarakat desa tidak kompetitif. Maka sering kali perusahaan justru menarik orang kota untuk bekerja pada sektor-sektor bisnis di desa, akibatnya desa tak bisa berkembang linier seiring dengan pembangunan disekitarnya. Dengan segala macam potensi kekayaannya, bahkan tak jarang desa justru dieksploitasi.
Magnetisme Desa
Problem kehidupan desa yang tak kalah kompleks dengan kota, akhirnya memaksa masyarakt desa untuk bergerak ke kota, melakukan urbanisasi. Kota dipandang masih lebih menjanjikan. Akibatnya terjadi penumpukan penduduk di kota. Problem kota pun semakin kompleks seiring arus urbanisasi yang tak mampu diimbangi dengan kapasitas kota. Baik oleh keterbatasan daya tampung, maupun keterbatasan lapangan kerja.
Akhirnya, problem sosial ekonomi hanya bergeser dan berpindah tempat dari desa ke kota. Hal ini menjadi rumit diurai karena masing-masing tidak kontekstual pada tawaran solusi yang butuh pendekatan berbeda berdasarkan wilayahnya.
Oleh karena itu, untuk mengikis disparitas pembangunan, menarik gagasan yang diajukan oleh cendikiawan Marwah Daud Ibrahim. Marwah menawarkan konsep desa metropolis. Desa diformat sebagai hunian yang nyaman dan menjanjikan. Dibangun inkubator-inkubator ekonomi berdasarkan potensi sumber daya alam lokal setiap desa sebagai bahan baku. Hunian juga ditata dengan pola komunitas. Bermukim pada satu titik strategis yang mudah dijangkau oleh moda transportasi sehigga mengakselerasi mobilitas masyarakat desa dalam melanjutkan aktifitas ekonomi mereka.
Akhirnya, ekonomi pedesaan tumbuh dan desa menjadi daerah menarik untuk bermukim sehingga mencegah terjadinya urbanisasi. Dengan demikian, tentu perputaran uang dan pembangunan akan lebih merata. Kaum muda dari desa yang umumnya telah memiliki kesadaran menuntut ilmu dan banyak melakukan perantauan intelektual, pada akhirnya juga tertarik kembali ke desa, mengembangkan desa dengan ilmu yang ia miliki.
Magnetisme desa berefek ganda bagi kehidupan sosial dan ekonomi secara keseluruhan. Masalah kependudukan yang sering terpusat di kota seperti kemiskinan, pengangguran dan kriminalitas bisa diurai seiring penurunan angka urbanisasi. Bahkan kemungkinan terjadi arus sebaliknya, yaitu perpindahan penduduk dari kota ke desa atau ruralisasi karena pesona dan harmoni kehidupan desa yang tak lagi dimiliki oleh perkotaan.
Namun untuk mewujudkan desa metropolis tersebut, sebagai langkah awal maka orientasi pembangunan harus memihak pada pedesaan. Kita berharap kedepan orang-orang kaya dunia atau orang-orang kaya Indonesia muncul dari desa. Karena di desa, semua faktor produksi tersedia. Mulai dari manusia hingga bahan bakunya.